SURABAYA | Kejaksaan Negeri Tanjung Perak Surabaya menerapkan pendekatan keadilan restoratif humanis dalam menangani kasus penggelapan kendaraan bermotor yang melibatkan tersangka Nurul Hudah. Dan korbannya adalah Aulia Nur, seorang Ibu Rumah Tangga (IRT).
Kasus penggelapan motor ini bermula pada sekira Maret 2024. Ketika itu korban berkeluh kesah kepada Nurul terkait masalah ekonomi. Dia mengaku sedang sangat membutuhkan uang sebesar Rp 1 juta secepatnya.
Mendapati keluhan tersebut, Nurul yang merasa tidak tega, kemudian meminjamkan uang pribadinya tersebut kepada korban, yang diketahuinya sebagai istri dari temannya.
Lantaran melihat kebaikan Nurul, korban akhirnya menjaminkan sebuah sepeda motor miliknya dengan merek Honda Supra X 125 tahun 2009. Meskipun saat itu Nurul tidak memintanya.
Pada sekira Agustus 2024, Nurul yang berprofesi sebagai pengamen jalanan itu terdesak akan kebutuhan dana untuk sekolah anaknya. Iya pun berusaha menghubungi Aulia dengan maksud menagih uang yang dipinjamkannya tersebut.
“Tetapi, saat dihubungi, korban ini sedang berada di Jakarta. Dan dari pengakuannya, korban mau menitipkan anaknya ke saudaranya yang berada di Jakarta itu,” tutur Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Tanjung Perak, Yusuf Akbar Amin, Jumat (22/11/24).
Lantaran tak ada jalan lain, Nurul yang sudah terdesak, akhirnya terpaksa memilih untuk menggadaikan motor milik Aulia tersebut kepada Sugik alias Gondrong (DPO). Dan setelah menyelesaikan urusannya di Jakarta, Aulia kembali pulang ke Surabaya.
“Sepulangnya dari Jakarta, korban mendatangi Nurul dengan maksud melunasi hutangnya dan mengambil kembali motornya. Namun, Hudah tidak dapat mengembalikan, karena sudah digadaikan sebesar Rp 1 juta. Nurul ini kemudian menghubungi Sugik, namun gagal menghubungi Sugik untuk menebus motor milik korban,” bebernya.
Lebih lanjut mantan Kasi Pidum Kejari Kabupaten Pasuruan itu menjelaskan, Aulia akhirnya melaporkan Nurul atas tuduhan penggelapan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 372 KUHP.
“Atas kasus ini, Kejari Tanjung Perak Surabaya berupaya untuk menerapkan pendekatan keadilan restoratif (Restorative Justice) untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang lebih humanis dan berfokus pada pemulihan kerugian korban,” kata Yusuf.
Menurut Yusuf, perbuatan ketercelaan dari niat jahat (mens rea) yang dilakukan Nurul dinilai minim sekali. Niat baik tersangka yang mengakibatkan kerugian materiil bagi korban semata-mata karena dalam kondisi terdesak.
“Penerapan Restorative Justice pada kasus ini karena adanya perdamaian antara tersangka dan korban, pengembalian kerugian terhadap korban dan tersangka baru pertama kali melakukannya,” jelasnya.
Kasus ini, sambung Yusuf, mengetuk hati Kepala Kejari Tanjung Perak Surabaya, Ricky Setiawan Anas. Langkah konkret kemanusiaan pun dilakukan oleh pucuk pimpinan kejaksaan yang beralamat di Jl Kemayoran 1, Surabaya itu.
“Bapak Kajari kemudian berkolaborasi dengan pihak Pelindo PT. Terminal Teluk Lamong terkait usulan untuk diberikan dana CSR. Kemarin (Kamis, 21/11/24) sudah diberikan bantuan biaya pendidikan bagi anak-anak dari Nurul, di rumah RJ “Omah Rukun” Kejari Tanjung Perak,” ucapnya.
Yusuf menegaskan bahwa langkah ini sejalan dengan pernyataan Jaksa Agung RI, ST Burhanuddin, yang menekankan bahwa rasa keadilan tidak hanya ada dalam buku atau teks undang-undang, tetapi dalam hati nurani setiap individu.
“Kami berusaha mengimplementasikan pernyataan dari Bapak Jaksa Agung, bahwa hari nurani harus didahulukan untuk menangani permasalahan hukum yang dinilai sangat sederhana dan bisa diselesaikan secara humanis. Ini juga sebagai bukti bahwa kejaksaan hadir di tengah-tengah masyarakat dalam masalah hukum,” tandasnya.