JAKARTA | Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan publik terkait perkara Nomor 170/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh I Gusti Ngurah Agung Krisna Adi Putra. Perkara ini menguji konstitusionalitas frasa dalam Pasal 143 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dianggap menimbulkan multitafsir dan berpotensi merugikan hak atas kepastian hukum warga negara.
Dalam kasus ini, Krisna Adi Putra merupakan terdakwa penyalahgunaan narkotika golongan I jenis ganja untuk kepentingan pribadi. Namun, surat dakwaan yang diterbitkan oleh Jaksa Penuntut Umum Putu Wulan Sagita Pradnyani tidak mencantumkan tanggal dan tanda tangan, bahkan terdapat dua versi surat dakwaan. Hal ini dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, menghalangi terdakwa dalam menyusun pembelaan secara optimal, dan melanggar prinsip due process of law.
Permohonan uji materiil ini berfokus pada frasa “surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani,” yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tentang jaminan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara.
Untuk itu, tim kuasa hukum pemohon, Singgih Tomi Gumilang, bersama tim dari SITOMGUM Law Firm menegaskan bahwa ketidakjelasan norma tersebut melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, yang menjamin hak atas kepastian hukum. “Norma ini membuka ruang multitafsir, merugikan keadilan, dan melanggar prinsip due process of law,” tegas Singgih dalam persidangan, Jumat (27/12/24).
Dalam kesempatan ini, tim kuasa hukum menyampaikan beberapa perbaikan pada permohonan yang diajukan. Pertama, struktur permohonan diatur ulang agar lebih terstruktur dan sesuai dengan kewenangan MK. Kedua, penyederhanaan bukti yang lebih jelas melalui penandaan P-1, P-2, P-3. Ketiga, surat kuasa yang sebelumnya kurang lengkap telah diperbaiki. Keempat, reformulasi argumen yang menekankan bahwa frasa dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP melanggar hak konstitusional atas kepastian hukum.
“Ketidakjelasan dalam norma hukum ini tidak hanya berdampak pada prUjioses peradilan, tetapi juga menjadi cerminan bagaimana hukum dapat berfungsi sebagai pelindung hak konstitusional. Perkara 170/PUU-XXII/2024 ini menjadi simbol perjuangan melawan ketidakpastian hukum yang berpotensi mengubah wajah sistem hukum pidana di Indonesia,” tutup Singgih Tomi Gumilang.
Ketua Majelis Hakim, Arsul Sani, mengapresiasi perbaikan tersebut, namun mengingatkan pentingnya kejelasan teknis dalam dokumen. “Kami akan membawa perkara ini ke Rapat Permusyawaratan Hakim lengkap untuk diputuskan segera,” ujar Arsul.