SIDOARJO – Sidang lanjutan dalam perkara dugaan korupsi di Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Delta Tirta Kabupaten Sidoarjo yang menjerat 3 orang terdakwa kembali digelar di ruang sidang Cakra, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Surabaya di Kabupaten Sidoarjo, Kamis (2/5).
Dalam sidang kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Sidoarjo menghadirkan 4 orang saksi yang berasal dari dalam Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KP-RI) Delta Tirta.
Keempat orang tersebut yakni Emma, dan Imron selaku karyawan KPRI dan satu orang lagi atas nama Teguh yang sempat menjabat sebagai Ketua KPRI periode 2015 serta satu orang staf Perumda Delta Tirta pada tahun 2012-2014 atas nama Ali.
Dalam keterangan di depan majelis Hakim, keempat orang saksi mengamini adanya upaya percepatan pasang baru yang mekanismenya berada di luar sistem Computized Registered (CoRe) atau sistem manual.
“Saya mendapatkan data nama pelanggan dari Pak Samsul (terdakwa), beliau meminta untuk segera pasang, intinya waktu itu percepatan, dan nama itu tidak ada di dalam sistem CoRe,” jelas saksi Imron saat dikonfirmasi terkait mekanisme pasang baru secara manual.
Dengan data tersebut ia pun langsung melakukan pemasangan dengan dibantu tenaga ahli pihak ketiga alias tukang tanpa konfirmasi ke cabang karena beranggapan bahwa terdakwa Samsul merupakan atasannya.
Masih Imron, dari kegiatan pasba manual tersebut kemudian muncul berita acara pemasangan yang ditandatangani oleh pelanggan sebagai tanda bahwa sudah terpasang. Dari data sekian banyak pelanggan tersebut kemudian dijadikan satu rekapan sebagai laporan.
“Dulu ada, saya punya rekapan tapi ketika muncul permasalahan ini, data data tersebut sudah tidak ada, karena mungkin kurangnya proteksi lantaran saya pindah di PDAM,” jelas Imron.
Bahkan data rekapan tersebut sempat dimasukkan kedalam Flashdisk untuk diserahkan ke Samsul, meski di akhir sidang Samsul membantah keterangan Imron.
Namun demikian Imron menegaskan bahwa sekitar 6 bulan pasca nama pelanggan terpasang sambungan baru, nama tersebut sudah muncul di sistem core.
Sementara itu saksi Teguh menjelaskan jika pihaknya pernah mendapatkan protes lantaran nama pelanggan sudah muncul di sistem CoRe namun belum terpasang sambungan baru. “Sempat ada protes, tapi sebentar saja kami langsung selesaikan,” jelasnya.
Tak hanya itu, saat menjabat Teguh sempat melihat suatu kejanggalan laporan keuangan yang mana ada muncul piutang KPRI sebesar Rp 2.2 miliar.
“Saya sempat tanyakan ke pengurus lama (pimpinan Slamet) namun hingga akhir masa jabatan saya selesai, belum ada jawaban,” ujarnya.
Teguh pun juga membenarkan jika pada peridesasi laporan keuangan tanggal 31 Desember 2020, 2021 dan 2022 terdapat piutang kepada Perumda Delta Tirta sebesar Rp 5,70 miliar.
“Terkait utang tersebut saya tak pernah melakukan penagihan karena saya tidak punya datanya bahkan saat minta data ke pengurus sebelumnya juga masih belum mendapatkan data tersebut,” Jelas Teguh.
Atas dasar itu Teguh beranggapan bahwa seharusnya masih ada piutang PDAM ke KPRI karena belum ada penagihan maupun rekonsiliasi antar kedua pihak.
Dikonfirmasi terpisah kuasa hukum terdakwa, Nizar Fikri sebenarnya menyayangkan atas bergulirnya perkara ini di ranah hukum pidana. “Perkara ini harusnya bisa digeser ke kanal perdata bukan kanal pidana,” ujarnya, Senin (6/5).
Bukan tanpa alasan tentunya. Fikri, sapaan akrabnya mengutarakan hal ini atas dasar keterangan saksi yang mana dalam persidangan terakhir mengakui adanya kegiatan pasang baru sambungan baru aliran air PDAM yang dilakukan oleh KPRI Delta Tirta.
“Saksi menerangkan adanya piutang KPRI di neraca maupun laporan keuangan kepada PDAM Delta Tirta,” imbuhnya.
Dalam mekanisme hutang terdapat klausul perjumpaan hutang. Sehingga saat kedua pihak duduk bersama dan ditemukan kesepakatan pembayaran utang maka masalah tersebut sudah bisa dianggap selesai.
Terkait adanya anggapan merugikan hingga diarahkan ke arah hukum pidana, Fikri pun mengajak agar kedua belah pihak duduk bersama menyelesaikan perselisihan.
“Ayo duduk bareng kita kalikan angka berapa titik pasang yang dilakukan KPRI dan diakui PDAM dikali Rp 780.000,- maka itu nilai yang seharusnya diterima oleh Koperasi,” kata Fikri.
Jika ternyata yang diterima Koperasi atas jumlah tersebut maka terjadi kelebihan bayar di Koperasi dan uang dikembalikan ke PDAM. Pun sebaliknya, jika yang diterima Koperasi masih dibawah jumlah tersebut maka ada kewajiban PDAM untuk membayar kekurangannya kepada Koperasi. Namun sayangnya belum ada langkah pendalaman seperti ini hingga sekarang,” pungkasnya. (*)