SURABAYA | Komisi D DPRD Kota Surabaya menerima kunjungan keluarga ahli waris dari Sunan Bungkul pada Selasa (6/8/2024). Dipimpin oleh Iwan Virgianto, keluarga tersebut menyampaikan sejumlah keluhan terkait pengelolaan makam Taman Bungkul.
Menurut Iwan, saat ini makam tersebut dikelola oleh pihak yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan ahli waris, sehingga menyebabkan ketidakcocokan dalam penulisan silsilah keturunan Mbah Bungkul.
Iwan menegaskan bahwa nama-nama dalam silsilah tersebut tidak mencantumkan Mbah Usman hingga ahli waris yang sah. “Bahkan, terdapat nama yang jelas bukan keturunan Mbah Bungkul,” tutur Iwan usai hearing di Kantor DPRD Surabaya, Selasa (6/8/24).
Selain itu, keluarga ahli waris meminta agar peta kondisi makam dikembalikan seperti pada tahun 1940. Pada saat itu, kompleks makam hanya memiliki dua rumah untuk juru kunci dan marbot.
Namun, saat ini terdapat 13 rumah di dalam kompleks makam, di mana hanya empat di antaranya yang terdaftar memiliki Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), menurut Bapenda.
Keluarga ahli waris juga menyampaikan keluhan mengenai kondisi toilet di area makam yang digembok dan hanya dapat digunakan oleh warga setempat, bukan peziarah.
“Toilet tersebut seharusnya tersedia untuk keperluan peziarah,” tegas Iwan.
Terkait area depan makam yang dijadikan Sentra Wisata Kuliner (SWK) sejak tahun 2006, ahli waris berharap agar pengelolaannya kembali diambil alih oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Mereka mengungkapkan bahwa setelah pandemi COVID-19, pengelolaan SWK tidak lagi dilakukan oleh Pemerintah Kota dan ada indikasi pungutan liar (pungli).
Keluarga ahli waris juga telah mendirikan yayasan untuk memastikan transparansi dalam pengelolaan makam Sunan Bungkul.
“Kami ingin dana yang terkumpul dari kotak infaq dan sumbangan toilet digunakan dengan transparan dan sesuai tujuan,” ujar Iwan.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disbudporapar) Kota Surabaya, Herry, menjelaskan bahwa area makam Mbah Bungkul merupakan aset Pemerintah Kota Surabaya.
“Kewenangan Disbudporapar ditetapkan pada tahun 1996 terkait cagar budaya makam Mbah Bungkul. Setiap tahun, kami mengirim surat kepada kelurahan untuk mendapatkan data peserta penjaga dan meminta laporan kebersihan area cagar budaya,” jelas Herry.
Herry juga mencatat bahwa ada tiga orang penjaga makam, seperti di makam cagar budaya lainnya. Mengenai laporan dari ahli waris Mbah Bungkul, Herry menegaskan bahwa pihaknya akan segera melakukan koordinasi untuk penertiban.
Sementara itu, Ketua Komisi D, Khusnul Khotimah, mendukung permintaan ahli waris untuk mengembalikan pengelolaan makam Mbah Bungkul kepada Pemerintah Kota Surabaya, terutama dengan adanya indikasi pungli.
Disbudporapar diminta segera mengadakan rapat koordinasi dengan melibatkan bagian hukum, aset, kelurahan, dinas koperasi, dan instansi terkait lainnya.
“Kami berharap Marwah makam Mbah Bungkul bisa dikembalikan pada khitahnya, dan masalah ini segera terselesaikan. Minggu depan kami akan meminta laporan hasilnya,” pungkas Khusnul.