Kenapa Orang Ibadah Harus Pake Pengeras Suara Kencang Kencang

Partikelir – Indonesia menghormati keyakinan penduduknya dalam beribadah. Akan tetapi fenomena beribadah memakai pengeras suara sudah tidak asing lagi bahkan karena terbiasa hal tersebut tidak pernah dihiraukan, dianggap lumrah.

Padahal beribadah seharusnya tenang dan khidmat, sedang yang terjadi dikalangan umumnya tidaklah seperti itu apalagi jika penganutnya mayoritas, seakan bisa seenaknya karena sudah merasa benar dan mengangapnya itu kebaikan. Sedangkan penganut ajaran lain yang ada di Indonesia ini tidak melakukan hal yang demikian.

Hal itu yang terjadi di salah satu wilayah Malang disalah satu kelurahan, dalam satu RT bisa terdengar suara TOA dari 6 masjid ataupun surau, kesemuanya memakai pengeras suara. Bisa di bayangkan riuhnya suara tatkala terjadi pelaksanaan ibadah secara bersamaan, terlebih lagi dibulan ramadhan. Dalam melaksanakan ibadahnya selalu disertai pengeras suara, dzikir, sholat, wirid wirid, burdah, sholawatan, yasinan, tahlilan, ceramah ceramah dan bahkan ibadah yang tergolong tidak penting dan bisa dilakukan secara pribadi pun memakai TOA.

Anak kecil yang blm cukup umur pun sering ramai ramai nimbrung dengan menyanyikan lagu lagu “islami” , orangtua pun merasa bangga karenanya. Surau seharusnya merupakan tempat beribadah atau manembah bukan tempat karaoke keluarga.

Hal tersebut sangat mengganggu warga sekitar, akan lebih baik jika memakai sound system internal agar tidak mengganggu yang lain.

“ Dublek rasane kupingku, mulai jam setengah papat isuk sampai jam 7 grebeken ora iso turu, opo koyok ngene seng diajarno rosul “ komentar salah satu warga di kelurahan itu.

Dimanakah toleransi beragama jika terjadi hal demikian, bukankah pengeras suara itu akan mengganggu warga yang beragama lain, selayaknya pengeras suara dipakai untuk yang penting saja, agar tidak mengganggu ketenangan warga yang lain.

Menteri agama telah mengatur perihal tersebut, dalam kenyataannya aturan tersebut tidak berjalan seperti yang diharapkan, malah terjadi perdebatan dan gontok gontokan karena dianggap penistaan. Peraturan itu sepertinya tidak memberikan dampak signifikan, masih saja dengan kebiasaan lamanya. Seolah sudah hilang rasa toleransinya dan hanya memandang semuanya adalah kebaikan.